Senin, 13 Maret 2017

DUA

Ruangan putih itu tampak lengang, namun dipenuhi gema isak tangis dari perempuan dua puluh dua tahun yang tidak tahu jalan hidupnya. Beberapa hari lagi dia akan di wisuda dengan gelar sarjana teknik. Dia mengerti konsep eksak nol dan satu karena hal tersebut adalah makanan sehari-harinya di bangku kuliah namun untuk masalah ini dia tidak tahu eksistensi dari nilai-nilai biner kehidupan. Terlalu banyak yang sudah terjadi dan dia bingung harus bercerita darimana. Psikiater itu berpindah duduk dan mendekat ke arahnya. Ia memeluk perempuan itu dan memberikan kenyamanan.
“Gapapa, keluarin aja semua tangisnya.”
“Mbak, aku udah nggak kuat.”
Masih dalam keadaan menangis, ia menyebutkan nama-nama orang yang pernah terlibat di hidupnya selama setengah tahun terakhir dan kejadian yang menimpanya. Dan terakhir ia menyebutkan namanya....
Satu susunan huruf yang terangkai apik menjadi sesuatu yang disebut nama, menyimpan berbagai emosi yang tidak dapat terdefinisikan. Antara mencintai rangkaian huruf tersebut dan siempunya nama, berdampingan dengan rasa perih disertai memori-memori yang menyakitkan.
Dia mencintainya. Menoleransi segala rasa sakit dan dengan kekuatan yang tersisa menyebut namanya. Bercerita bagaimana proses mencintainya begitu membuatnya sakit karena dibarengi dengan kenyataan bahwa akhirnya cintanya harus disimpan sendirian.
Selama delapan bulan terakhir ia kehilangan arah. Dua jam yang lalu dia sudah benar-benar kehilangan arah dan akhirnya menelepon salah satu sahabatnya.
“antarin aku ya, aku butuh bantuan. Aku mau ke psikolog.”

Dan disinilah ia sekarang, menumpahkan semua sesak selama setengah jam lebih tanpa kata-kata.

0 cuapcuaps:

Posting Komentar