Ruangan putih itu tampak lengang, namun dipenuhi gema isak
tangis dari perempuan dua puluh dua tahun yang tidak tahu jalan hidupnya.
Beberapa hari lagi dia akan di wisuda dengan gelar sarjana teknik. Dia mengerti
konsep eksak nol dan satu karena hal tersebut adalah makanan sehari-harinya di
bangku kuliah namun untuk masalah ini dia tidak tahu eksistensi dari
nilai-nilai biner kehidupan. Terlalu banyak yang sudah terjadi dan dia bingung
harus bercerita darimana. Psikiater itu berpindah duduk dan mendekat ke
arahnya. Ia memeluk perempuan itu dan memberikan kenyamanan.
“Gapapa, keluarin aja semua tangisnya.”
“Mbak, aku udah nggak kuat.”
Masih dalam keadaan menangis, ia menyebutkan nama-nama orang
yang pernah terlibat di hidupnya selama setengah tahun terakhir dan kejadian
yang menimpanya. Dan terakhir ia menyebutkan namanya....
Satu susunan huruf yang terangkai apik menjadi sesuatu yang
disebut nama, menyimpan berbagai emosi yang tidak dapat terdefinisikan. Antara
mencintai rangkaian huruf tersebut dan siempunya nama, berdampingan dengan rasa
perih disertai memori-memori yang menyakitkan.
Dia mencintainya. Menoleransi segala rasa sakit dan dengan
kekuatan yang tersisa menyebut namanya. Bercerita bagaimana proses mencintainya
begitu membuatnya sakit karena dibarengi dengan kenyataan bahwa akhirnya
cintanya harus disimpan sendirian.
Selama delapan bulan terakhir ia kehilangan arah. Dua jam
yang lalu dia sudah benar-benar kehilangan arah dan akhirnya menelepon salah
satu sahabatnya.
“antarin aku ya, aku butuh bantuan. Aku mau ke psikolog.”
Dan disinilah ia sekarang, menumpahkan semua sesak selama
setengah jam lebih tanpa kata-kata.
0 cuapcuaps:
Posting Komentar