Kamis, 16 Maret 2017

Lima

Di dalam dunia engineering, terdapat istilah threshold yang berarti ambang batas. Pada setiap pengukuran dari sesuatu, komponen dan piranti terkait memiliki ambang batasnya masing-masing. Batas minimal dari memulai sesuatu dan batas maksimal dalam mencapai sesuatu. Sebelum mencapai batas maksimal terdapat toleransi yang diperbolehkan.
Di dalam dunia orang normal mungkin threshold ini nampak jelas. Namun, dia menyadari dia bukanlah orang normal. Seseorang yang memiliki mental yang sehat tak mungkin saat ini menghadapi ibu paruh baya yang menatapnya dengan perasaan iba walaupun seperlima dari kisahnya saja belum dia selesaikan.
Dua tahun yang lalu, ia berdiri berdesakan di antara ibu-ibu di pasar terbesar di kotanya. Dengan perasaan campur aduk dia mengkalkulasi jumlah uang di dompetnya, untuk hidup satu bulan ke depan dan sebagian besar isinya yang akan dia pertaruhkan di sini. Sepatu, pikirannya saat itu. Tiga ratus ribu rupiah dia habiskan sebagai modal usaha saat itu. Dua kresek besar dia bawa dengan susah payah keluar dari desakan puluhan orang disana. Waktu menunjukkan pukul satu siang dan tidak memberikan keuntungan sama sekali karena peluh setiap orang menetes dan bercampur jadi satu di ruangan tersebut. Ia berusaha keluar melewati lorong dan setitik cahaya pintu berlabelkan “keluar” menjadi udara segar baginya.
Haus. Ia pun duduk di salah satu “kedai” dawet di depan pasar. Ibunya pernah berkata bahwa dawet disini biasa saja, banyak yang lebih enak. Namun, ia merasa itu adalah minuman terenak yang pernah ia rasakan. Ia memandang dua buah kantong plastik yang ada di hadapannya saat ini dan optimisme-lah yang menjadi pegangannya saat itu.
“Namanya bagusnya apa ya Sri?”
“RhoIndonesia aja, Yu”
....

Yogyakarta sepertinya sedang akrab dengan matahari. Bodohnya. Ia saat itu menggunakan pakaian warna gelap. Sepuluh menit yang lalu, ia memacu motor maticnya dengan kecepatan tinggi setelah kuliah belum benar-benar ditutup karena dosen masih berada di dalam ruangan. Tujuannya hanya satu yaitu datang tepat waktu agar bisa mengantarkan barang pada pelanggan pertamanya. Ia menunggu lima belas menit di tempat itu yang sialnya tidak ada tempat untuk berteduh. Senyum merekah di wajahnya ketika menerima beberapa lembar uang dari pelanggannya. Alhamdulillah, semangat Ayu demi sepatu buat Manda.

0 cuapcuaps:

Posting Komentar