Senin, 13 Maret 2017

Satu

Aku merasakan hembusan angin malam yang menerpa sedikit bagian di wajahku dan menyingkap sedikit bagian dari hijabku. Indera perasaku menyampaikan sinyal bahwa yang kurasakan adalah ‘dingin’ dan dalam sepersekian detik otak memberikan respon untuk menyilangkan tangan agar dapat meminimalisir rasa dingin itu. Baju yang kubeli sore tadi sayangnya tidak mampu memberikan kehangatan yang cukup. Aku melihat orang yang berdiri disampingku, one of the stranger.
Banyak stranger yang telah mampir dalam hidupku. Ada yang memberikan cerita yang singkat namun memberikan ‘getaran’ , ada pula yang bagiannya tidak memberikan arti. Kamu termasuk ingin menjadi yang bagaimana wahai stranger?
“Ayu, kalau aku ngelamar kamu gimana?”
Sepi.
“Bercanda kamu, maaf tapi untuk saat ini aku tidak bisa menjawab sesuai dengan harapanmu.”
Suasana kota Yogyakarta malam ini begitu tenang. Titik-titik lampu menyeruak dari kejauhan menimbulkan kesan yang dalam bagi orang-orang yang pernah terlibat pada titik kecil tersebut.
“Dunia ini besar sekali dan kita kecil sekali ya, Nda.” Sepenggal percakapan yang kucoba untuk menguburnya dalam muncul tanpa permisi. Bersamaan dengan itu, bagaikan setitik lubang saluran air yang bocor lalu semakin membesar, membuat semakin deras air yang keluar. Memori.
Tepat tiga minggu yang lalu aku berada di sebuah ruangan tiga kali tiga meter. Ruangan itu tampak biasa saja. Sofa yang panjang memenuhi hampir separuh dari ruangan itu. Jendela terbuka lebar membiarkan angin masuk ke dalam padahal ruangan tersebut memiliki pendingin udara yang dibiarkan menyala.
“Anggita?”
“Iya mbak, betul saya.”
Perawakannya tinggi dan memiliki rambut yang dipotong sebahu dengan poni dijepit ke belakang. Kemeja warna biru langitnya dimasukkan ke dalam celana bahan, formal namun pembawaannya santai.
“Jadi mau cerita apa ke mbak?” katanya sambil tersenyum. Rasa sesak menyeruak di dadaku.
Aku bercerita, sedikit.
“Ada cerita lain yang ingin kamu sampaikan?” ujarnya masih tersenyum.
“Haruskah saya ceritakan setiap detailnya ke mbak?”
“Gimana saya bisa bantu kamu kalau kamu ngga mau cerita ?” Ia membenarkan posisinya dan menatap lekat mataku. “Terlalu banyak luka ya?” air mata mengalir deras kemudian. Entah sudah berapa banyak stok air mataku terkuras. Aku teringat apa yang membawaku kesini, kebencian.

Kebencian itu sudah terlalu banyak dan aku tak sanggup lagi membendungnya. 

0 cuapcuaps:

Posting Komentar