Aku merasakan hembusan angin malam yang menerpa sedikit
bagian di wajahku dan menyingkap sedikit bagian dari hijabku. Indera perasaku
menyampaikan sinyal bahwa yang kurasakan adalah ‘dingin’ dan dalam sepersekian
detik otak memberikan respon untuk menyilangkan tangan agar dapat meminimalisir
rasa dingin itu. Baju yang kubeli sore tadi sayangnya tidak mampu memberikan
kehangatan yang cukup. Aku melihat orang yang berdiri disampingku, one of the stranger.
Banyak stranger
yang telah mampir dalam hidupku. Ada yang memberikan cerita yang singkat namun
memberikan ‘getaran’ , ada pula yang bagiannya tidak memberikan arti. Kamu
termasuk ingin menjadi yang bagaimana wahai stranger?
“Ayu, kalau aku ngelamar kamu gimana?”
Sepi.
“Bercanda kamu, maaf tapi untuk saat ini aku tidak bisa
menjawab sesuai dengan harapanmu.”
Suasana kota Yogyakarta malam ini begitu tenang. Titik-titik
lampu menyeruak dari kejauhan menimbulkan kesan yang dalam bagi orang-orang
yang pernah terlibat pada titik kecil tersebut.
“Dunia ini besar sekali dan kita kecil sekali ya, Nda.”
Sepenggal percakapan yang kucoba untuk menguburnya dalam muncul tanpa permisi.
Bersamaan dengan itu, bagaikan setitik lubang saluran air yang bocor lalu
semakin membesar, membuat semakin deras air yang keluar. Memori.
Tepat tiga minggu yang lalu aku berada di sebuah ruangan
tiga kali tiga meter. Ruangan itu tampak biasa saja. Sofa yang panjang memenuhi
hampir separuh dari ruangan itu. Jendela terbuka lebar membiarkan angin masuk
ke dalam padahal ruangan tersebut memiliki pendingin udara yang dibiarkan
menyala.
“Anggita?”
“Iya mbak, betul saya.”
Perawakannya tinggi dan memiliki rambut yang dipotong sebahu
dengan poni dijepit ke belakang. Kemeja warna biru langitnya dimasukkan ke
dalam celana bahan, formal namun pembawaannya santai.
“Jadi mau cerita apa ke mbak?” katanya sambil tersenyum.
Rasa sesak menyeruak di dadaku.
Aku bercerita, sedikit.
“Ada cerita lain yang ingin kamu sampaikan?” ujarnya masih
tersenyum.
“Haruskah saya ceritakan setiap detailnya ke mbak?”
“Gimana saya bisa bantu kamu kalau kamu ngga mau cerita ?”
Ia membenarkan posisinya dan menatap lekat mataku. “Terlalu banyak luka ya?”
air mata mengalir deras kemudian. Entah sudah berapa banyak stok air mataku
terkuras. Aku teringat apa yang membawaku kesini, kebencian.
Kebencian itu sudah terlalu banyak dan aku tak sanggup lagi
membendungnya.
0 cuapcuaps:
Posting Komentar